Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 2019

Potret Wanita Saudi Dari Wadjda

Masih ingatkah film khas lebaran zaman dulu berjudul  Children of Heaven . Berkisah tentang perjuangan Ali untuk memiliki sepatu baru. Sebab Ali dari keluarga tidak mampu, Ali mengikut sertakan dirinya di lomba lari. Berharap mendapat juara dua dan mendapat hadiah sepatu baru, maka ia pun malah bersedih menjadi juara wahid di lomba tersebut. Film yang dirilis tahun 1997 itu, bagi beberapa orang yang lahir di era 90-an sudah jadi bagian romantika masa kanak-kanak. Kini melalui Wadjda, sang sutradara wanita pertama Arab Saudi, Haifaa al-Mansour seolah berusaha menampilkan  Children of Heaven -nya Arab Saudi. Film ini bercerita tentang anak perempuan bernama Wadjda yang ingin memiliki sepeda nya sendiri. Ia kemudian mengikuti lomba tilawah al-Quran, untuk memenangi sejumlah uang. Akan tetapi, beda Ali, beda Wadjda. Bukan karena ketidakmampuan ekonomi keluarga Wadjda untuk membelikannya sepeda, tapi untuk keluarga religius pamali bagi anak gadis bersepeda. Ya, Wadjda ingi...

Antagonisme Bahasa Seks

Kitab kamasutra-nya Jawa: Serat Centhini. Tanpa mendiskreditkan budaya Jawa, Centhini memang berbahasa cabul, kasar, bahkan menjijikkan. Namun, mana mungkin kita akan mengolok-olok tradisi Jawa, khususnya kesusatraan Jawa. Kecuali, kita menggunakan tolok ukur parsial, dengan mengatakan amoralitas atas nama agama. Menurut Elisabeth D. Inandiak kecabulan dan kekotoran bahasa Serat Centhini terhapus lewat keindahan tembang dengan paduan gamelan dan pesinden, yang saya kutip dari Historia.id tertanggal 12 Maret 2012. Seperti kisah dalam bukunya Benedict Anderson,  Kuasa-Kata: Jelajah Budaya Politik di Jawa , saat Cebolang mempraktikkan hubungan melalui anus, di mana sang Adipati Daha sebagai pelampiasan homoseks yang dilakukan Cebolang. Sang Adipati tidak mampu menahan sakit disodomi, merintih meminta belas kasih (barebel kang waspa/andruwuli sesambate). "Oh, berhenti..cukup... tolong, jangan.... lepaskan itu,... ow... ow.. tolong hentikan" (lah uwis aja-aja//wurungena ba...

Merenungi Haji ala Shariati

Baru saja kita melewati musim Haji. Rutinitas ritual umat Islam dengan segudang problematika teknisnya bagi muslim Indonesia, selalu menyisakan pertanyaan substansial, apakah kita benar-benar sudah berhaji? Barangkali sudah, sebatas prosedur. Ihram, Wukuf, Tawaf, Sa’i dan Tahallul semua tertib dijalankan. Apa itu cukup? Apakah sebanding dengan jutaan duit yang telah dibayarkan dengan tujuan esensial Haji? Jika masih ragu, mari renungi bersama Ali Shariati.   Sebelum itu, sejenak kita singkirkan bias madzhab kita. Entah Sunni, Syiah atau yang lainnya. Kita pandang Ali Shariati sebagai manusia utuh dengan segudang keilmuannya. Meski faktanya, sebagai cendekiawan muslim, sosiolog, dan filsuf, beliau lahir dan besar dari lingkungan Syiah Iran. Keilmuannya dari timur sampai Barat. Ia lulus doktoralnya dari Sorbone University, Perancis tahun 1964. Aktif dalam pergerakan politik, mengkritik pemerintahan Shah Iran yang totaliter, bolak-balik masuk bui, akhirnya ia dibunuh di London oleh...