Skip to main content

Antagonisme Bahasa Seks

Kitab kamasutra-nya Jawa: Serat Centhini. Tanpa mendiskreditkan budaya Jawa, Centhini memang berbahasa cabul, kasar, bahkan menjijikkan. Namun, mana mungkin kita akan mengolok-olok tradisi Jawa, khususnya kesusatraan Jawa. Kecuali, kita menggunakan tolok ukur parsial, dengan mengatakan amoralitas atas nama agama.
Menurut Elisabeth D. Inandiak kecabulan dan kekotoran bahasa Serat Centhini terhapus lewat keindahan tembang dengan paduan gamelan dan pesinden, yang saya kutip dari Historia.id tertanggal 12 Maret 2012.
Seperti kisah dalam bukunya Benedict Anderson, Kuasa-Kata: Jelajah Budaya Politik di Jawa, saat Cebolang mempraktikkan hubungan melalui anus, di mana sang Adipati Daha sebagai pelampiasan homoseks yang dilakukan Cebolang. Sang Adipati tidak mampu menahan sakit disodomi, merintih meminta belas kasih (barebel kang waspa/andruwuli sesambate).
"Oh, berhenti..cukup... tolong, jangan.... lepaskan itu,... ow... ow.. tolong hentikan" (lah uwis aja-aja//wurungena bae adhuh uwis), bahkan sampai terkencing-kencing (kepoyuh). Lantas, apa yang mau kita bangun dengan menjadikan bahasa seks sebagai antagonisme sosial? Saya teringat video 'ikan' Jokowi dan anak Sekolah Dasar.
Banyak tulisan media mensensor anak SD dengan menulis 'ikan k*****" atau 'ikan titttttts', tapi saya tegaskan agar tidak menjadi penasaran orang yang hanya sepat membaca beritanya, bukan videonya, bahwa anak SD itu berkata: 'ikan kontol'. Ya, 'kontol', K O N T O L. Relasi bahasa dan moralitas kadang membuat kita berada pada ambiguitas moral itu sendiri.
Di satu sisi, bahasa sensual memang bagian realitas tradisi dan budaya komunitas masyarakat. Di sisi lain, atas nama moral, sopan santun, kepatutan, bahasa seks ditabukan dan dihitamkan. Saya jadi berpikir antagonisme bahasa ini menjauhkan manusia sebagai pemilik bahasa itu, sehingga ia terasing dari dirinya sendiri. Katakutan terhadap gunjingan sosial bertalian dengan ketakutan dalam menggunakan kapasitas otaknya untuk memproduksi gagasan.
Misalnya, seseorang ingin mengatakan penis atau vagina dengan mengganti 'anu', 'itu', atau '******', ini multitafsir, bahkan sukar dibaca. Mungkin melalui konteks percakapan, ditambah mimik tertentu, lawan bicara akan paham. Begitupun dalam bahasa tulisan. Tapi bagaimana kalau ada orang nulis atau ngomong, "****** kelihatan lho!" wah, bukan main kecerdasan sesorang jika langsung memahaminya.
Pada kenyataannya bahasa seks hanya terbatas pada bilik2 akademisi atau lembaran text book. Eksklusivitas bahasa seks menjadi pilihan terpaksa komunitas manusia untuk menutupi kejujuran dalam bertutur kata. Kejujuran bertutur menjadi kebutuhan primer negeri ini. Telah banyak manusia dengan penuh kepura-puraan atas nama agama maupun moralitas.
Di tempat umum kata santun dikampanyekan dalam rangka memperadabkan manusia. Banyak politikus sangat disanjung karena bahasanya yang santun dekat dengan agamawan, tapi integritas dan tanggung jawabnya masih dipertanyakan. Kita harus rethinking arti moralitas sosial. Karena, dalam kepercayaan apapun, kejujuran adalah doktrin utama dalam membangun peradaban manusia. Follow your commonn sense, you cannot hide yourself.
Mari kita jujur kawan.


*Pertama dipublish di Qureta.com

Comments

Popular posts from this blog

Kapitalisme Bergerak

Doktrin kapitalisme mempostulatkan modal sebagai lokomotif utama dalam sirkulasi ekonomi. Kekuatan modal dipakai untuk mengusai seluruh aspek produksi, berupa alat produksi, tenaga kerja, sistem distribusi, dan keseluruhan yang berhubungan dengannya. Nilai lebih yang dihasilkan keseluruhan produksi semata-mata hanya untuk pemilik-pemilik modal. Nilai yang tertanam dalam doktrin ini begitu sederhana. Kapitalisme hanya memiliki satu nilai dalam sistemnya, yakni profit. Sehingga, ia tidak mengijinkan nilai-nilai lain seperti kemanusiaan, keseimbangan, keadilan sosial, mengintervensi segala bentuk aktivitas ekonomi. Ketimpanganyang dihasilkan kapitalisme melahirkan kesadaran bahwa ia harus dihancurkan. Marx memberikan konsepsi teoritis bahwa keruntuhan kapitalisme adalah keniscayaan sejarah dan akan digantikan oleh sistem masyarakat komunis. Tranformasi ini kemudian didebatkan oleh para penafsir Marx meski dalam dimensi yang sama, yakni revolusi. Lenin di Rusia misalnya. Dalam pen...

Potret Wanita Saudi Dari Wadjda

Masih ingatkah film khas lebaran zaman dulu berjudul  Children of Heaven . Berkisah tentang perjuangan Ali untuk memiliki sepatu baru. Sebab Ali dari keluarga tidak mampu, Ali mengikut sertakan dirinya di lomba lari. Berharap mendapat juara dua dan mendapat hadiah sepatu baru, maka ia pun malah bersedih menjadi juara wahid di lomba tersebut. Film yang dirilis tahun 1997 itu, bagi beberapa orang yang lahir di era 90-an sudah jadi bagian romantika masa kanak-kanak. Kini melalui Wadjda, sang sutradara wanita pertama Arab Saudi, Haifaa al-Mansour seolah berusaha menampilkan  Children of Heaven -nya Arab Saudi. Film ini bercerita tentang anak perempuan bernama Wadjda yang ingin memiliki sepeda nya sendiri. Ia kemudian mengikuti lomba tilawah al-Quran, untuk memenangi sejumlah uang. Akan tetapi, beda Ali, beda Wadjda. Bukan karena ketidakmampuan ekonomi keluarga Wadjda untuk membelikannya sepeda, tapi untuk keluarga religius pamali bagi anak gadis bersepeda. Ya, Wadjda ingi...

Kisah Konyol Menjelang Runtuhnya Uni Soviet

Siapa yang tak tahu Uni Soviet? “Negara” Perserikatan yang menjadi salah satu mantan aktor perang dingin ini telah bubar 23 tahun lalu. Negara – lebih baik disebut perserikatan – yang terletak di Eropa Timur dan kawasan Baltik menyita perhatian dunia pada akhir tahun 1991. Betapa tidak perserikatan ini yang lahir dari kesepakatan meja kongres pada tanggal 30 Desember 1922 – artinya sudah cukup  sepuh  untuk menjadi organisasi yang kuat – luluh lantah diterpa “badai” nasionalisme. Bubarnya Uni Soviet menandai kemenangan blok barat – AS dkk – dan berakhirnya perang dingin. Pada awal berdirinya – tepatnya saat kongres pertama – ada dua pendapatberbeda dalam menformat perserikatan. Pendapat pertama, Josepf Stalin mengusulkan satu perserikatan di bawah Republik Federal Rusia sebagai republik terbesar, dan republik-republik tetap memiliki otonominya. Sedangkan pendapat kedua dari Vladimir Lenin. Meski tak hadir karena sakit keras, Lenin mengirimkan gagasanya dalam sebuah...