
Matu Mona tidak menamai tokoh-tokoh yang terlibat dalam roman sejarah ini dengan nama aslinya. Ia menciptakannya sendiri. Tokoh utama, Tan Malaka dinamai dengan Pacar Merah, sedang kawan-kawannya seperti Alimin sebagai Ivan Alimsky, Musso sebagai Paul Mussote, semaun sebagai Semanoff, Djamaludin Tamin sebagai Djalumin, Darsono sebagai Darsonoff, dan lain sebagainya.
Benar adanya, tokoh-tokoh dalam novel ini adalah para pemimpin Partai Komunis Indonesia yang lari akibat tindakan represif pemerintah penjajah. Langkah yang diambil para pemimipin kiri ini tidak semata untuk bersembunyi ketakutan, tapi merupakan langkah untuk membangun simpul-simpul kekuatan demi tercapainya Indonesia merdeka. Sehingga meski para pejuang ini lari kemanapun tetap dikejar oleh PID (Polisi Rahasia Belanda).
Jalan cerita novel ini penuh dengan aksi-aksi spionase, kejar-kejaran, penyamaran dan sedikit dibumbui romantika cinta. Dan sebagai tokoh utamanya, Pacar Merah terpaksa berpindah-pindah dari satu negara ke nagara lain untuk menghindari penagkapan. Namanya pun harus disamarkan. Beda negara beda identitas. Di Thailand ia bernama Vichitra, di Cina bernama Tan Min Kha, di Filipina pernah menggunakan nama Puting Ulap (Awan Putih) dan seterusnya.
Antara Fiksi dan Fakta
Novel ini tercacat diterbitkan pada tahun 1938 di Medan oleh Centrale-Courant en Boekhandel dengan Judul Spionage Dienst (178 halaman) dan Rol Patjar Merah di Indonesia cs (168 halaman). Itu artinya novel ini ditulis tidak jauh dari tahun penerbitan. Sedangkan “aktor-aktor” di dalamnya saat itu masih berada di luar negeri – masa pelarian.
Adapun penulisnya, Matu Mona adalah nama pena yang dalam bahasa Tapanuli Selatan berarti “mulai” atau “baru mulai”. Penulis sekaligus wartawan ini bernama asli Hasbullah Parindurie. Ia dilahirkan di Kesawan, Deli pada tanggal 20 Juli 1910. Sebuah daerah yang pada masa itu bernama Kedai Panjang. Daerah perkampungan nelayan dan perumahan yang berbentuk toko yang terbuat setengah dari beton, di atas (loteng) dari papan.
Matu memulai karirnya di surat kabar Pewarta Deli yang dipimpin oleh Adinegoro pada 1 Januari 1931. Pada masa mudanya juga Ia sering menulis cerpen, cerita bersambung, sajak-sajak pada Pewarta Deli. Karya pertamanya ialah M. Jussjah, Journalist (penerbit Multatuli, Medan). Kemudian Harta Terpendam (penerbit NV. Syarekat Tapanuli), lalu Pacar Merah Indonesia, Ja Umenek Jadi-Jadian, Biografi Mohamad Husni Thamrin, Biografi Wage Rudolf Supratman, Peristiwa dan Peristiwa yang semuanya di cetak di Medan. Karya yang terakhir Zaman Gumilang yang diterbitkan di Jakarta pada masa kemerdekaan.[1]
Sedangkan, novel Pacar Merah Indonesia memang tidak sepenuhnya fakta atau malah bahkan novel fiksi. Karena jika fakta, bagaimana Matu menulis tokoh-tokoh pelarian di luar negeri sedang akses informasi masih sangat terbatas. Kalaupun ada pasti yang memiliki adalah pemerintah kolonial dan tentu saja itu sangat rahasia.
Menurut Harry Poeze, seorang peneliti tentang Tan Malaka, roman Matu ini digambarkan terjadi pada tahun 1930-1932. Matu mencampuradukan fakta, desas-desus, dan imajinasi. Fakta yang digunakannya pun cukup kontroversi. Beberapa peristiwa yang diungkapkan Matu hanya tercantum pada dokumen rahasia PID atau dalam memo diplomatik yang sebagian baru diumumkan kemudian. Seperti memoar Tan (Dari Penjara ke Penjara) yang diterbitkan ulang pada tahun 2000 dan memoar Djamaludin Tamin yang tidak diterbitkan. Sedang tentang desas-desus Matu menggunakan berita tentang Pari (Partai Indonesia) yang dianggap relevan.
Berdasarkan hasil wawancara Harry A. Poeze dengan Matu pada tanggal 2 September 1980 di Jakarta, bahwa Matu mendapatkan bahanya dari surat-surat Tan Malaka kepada Adinegoro sekitar 4 samapai 5 surat. Surat pertama tertanggal akhir tahun 1932 atau awal tahun 1933. Yang pertama berstempel pos Filipina.
Jalan cerita novel ini, Matu terinpirasi oleh karya terkenal Baronesse Orczy mengenai Scralet Pimpernel, yang beraksi sebagai pahlawan semasa Revolusi Perancis. Novel yang penuh dengan aksi spionase, polisi rahasia, penyamaran, dan romantika ialah buku Orczy yang sukses besar. Banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia pada tahun 1928, dengan judul “Beloet Kena Randjau” atau “Patjar Merah Terdjerat” dan “Litjin Bagai Beloet”. Sehingga, pada tahun 1934 novel Orczy difilmkan dan sangat sukses.[2]
Terjerat Romantika Cinta
Kisah yang cukup menarik dari novel Matu adalah cinta seorang anak kepala polisi rahasia Siam yang cantik jelita, bernama Ninon Phao kepada Vichitra alias Pacar Merah alias Tan Malaka. Kebesaran cinta Phao membuat Ia harus “mengkhianati” ayahnya yang mengejar Pacar Merah. Banyak aksi persembunyian, pelarian Tan (Pacar Merah) dibantu oleh Ninon Phao, bahkan untuk lari bersama Tan pun, Phao bersedia. Phao telah mendedikasikan hidupnya untuk mencintai Tan Malaka.
Akan tetapi, cinta Tan kepada gadis cantik ini hanyalah sebatas cinta kakak kepada saudarinya. Tan sadar jika Ia mencintainya lebih dari itu, maka cita-cita perjuangannya akan tehambat, bahkan sirna. Cinta Tan kepada tanah air mengalahkan cinta seorang “Adam kepada Hawa”. Pada akhirnya, terpaksa Phao melepaskan harapannya untuk hidup bersama Tan dan menikah dengan lelaki yang dijodohkan oleh ayahnya. Dan tentu saja itu juga atas dasar bujukan Tan kepada Phao Untuk menuruti kehendak ayahnya.
Kisah romantiaka cinta Tan tentu kemungkinan besar adalah imajinasi Matu Mona. Karena tidak ada catatan – bahkan di memoar Tan Malaka sendiri (Dari Penjara ke Penjara) – bahwa Tan pernah terlibat asmara dengan seorang gadis. Hal ini lebih menrupakan “bumbu penyedap” yang diberikan Matu meski ini merupakan Roman Politik.
Kasus yang sama juga terjadi pada Alimin. Ia jatuh pada dilema cinta, antara cinta tanah air dan cinta pada seorang “hawa” asal Perancis. Gadis anak seorang aktivis sosialis Perancis ini bernama Marcelle. Matu menggambarkan romantika Alimin dengan sebuah lagu yang pada saat itu sangat terkenal Ja’i deux Amours yang berarti “kekasihku ada dua”.
Beda Tan beda Alimin. Alimin berusaha membagi hatinya pada dua cinta ini. Akibatnya meski akhirnya Ia bertunangan dengan Marcelle, tapi kebersamaannya dengan kekasihnya tidaklah lama. Ia harus melanjutkan tugas perjuangannya demi cintanya yang lain, yakni cinta pada cita-cita Indonesia merdeka.
Bagi penulis sendiri, Matu Mona berhasil menyuguhkan kisah menarik dalam sebuah novel. Keberhasilan Matu diantaranya mampu mengkolaborasi fakta, isu, dan imajinasinya– menurut Harry Poeze– dalam satu karya utuh yang luar biasa. Novel Pacar Merah Indonesia berusaha meninsyafkan para pembaca tentang perjuang-pejuang yang terasing dari negerinya sendiri sampai hari ini. Artinya mereka sebagai pejuang kemerdekaan terlupakan oleh sejarah – atau sengaja dilupakan – hanya karena mereka golongan kiri-komunis.
Terjerat Romantika Cinta
Kisah yang cukup menarik dari novel Matu adalah cinta seorang anak kepala polisi rahasia Siam yang cantik jelita, bernama Ninon Phao kepada Vichitra alias Pacar Merah alias Tan Malaka. Kebesaran cinta Phao membuat Ia harus “mengkhianati” ayahnya yang mengejar Pacar Merah. Banyak aksi persembunyian, pelarian Tan (Pacar Merah) dibantu oleh Ninon Phao, bahkan untuk lari bersama Tan pun, Phao bersedia. Phao telah mendedikasikan hidupnya untuk mencintai Tan Malaka.
Akan tetapi, cinta Tan kepada gadis cantik ini hanyalah sebatas cinta kakak kepada saudarinya. Tan sadar jika Ia mencintainya lebih dari itu, maka cita-cita perjuangannya akan tehambat, bahkan sirna. Cinta Tan kepada tanah air mengalahkan cinta seorang “Adam kepada Hawa”. Pada akhirnya, terpaksa Phao melepaskan harapannya untuk hidup bersama Tan dan menikah dengan lelaki yang dijodohkan oleh ayahnya. Dan tentu saja itu juga atas dasar bujukan Tan kepada Phao Untuk menuruti kehendak ayahnya.
Kisah romantiaka cinta Tan tentu kemungkinan besar adalah imajinasi Matu Mona. Karena tidak ada catatan – bahkan di memoar Tan Malaka sendiri (Dari Penjara ke Penjara) – bahwa Tan pernah terlibat asmara dengan seorang gadis. Hal ini lebih menrupakan “bumbu penyedap” yang diberikan Matu meski ini merupakan Roman Politik.
Kasus yang sama juga terjadi pada Alimin. Ia jatuh pada dilema cinta, antara cinta tanah air dan cinta pada seorang “hawa” asal Perancis. Gadis anak seorang aktivis sosialis Perancis ini bernama Marcelle. Matu menggambarkan romantika Alimin dengan sebuah lagu yang pada saat itu sangat terkenal Ja’i deux Amours yang berarti “kekasihku ada dua”.
Beda Tan beda Alimin. Alimin berusaha membagi hatinya pada dua cinta ini. Akibatnya meski akhirnya Ia bertunangan dengan Marcelle, tapi kebersamaannya dengan kekasihnya tidaklah lama. Ia harus melanjutkan tugas perjuangannya demi cintanya yang lain, yakni cinta pada cita-cita Indonesia merdeka.
Bagi penulis sendiri, Matu Mona berhasil menyuguhkan kisah menarik dalam sebuah novel. Keberhasilan Matu diantaranya mampu mengkolaborasi fakta, isu, dan imajinasinya– menurut Harry Poeze– dalam satu karya utuh yang luar biasa. Novel Pacar Merah Indonesia berusaha meninsyafkan para pembaca tentang perjuang-pejuang yang terasing dari negerinya sendiri sampai hari ini. Artinya mereka sebagai pejuang kemerdekaan terlupakan oleh sejarah – atau sengaja dilupakan – hanya karena mereka golongan kiri-komunis.
“Sejarah ditulis oleh sang pemenang” ungkapan itu mungkin ada benarnya. Kekalahan golongan kiri (PKI) pada kancah politik Indonesia menyebabkan mereka harus rela dicap sebagai “penjahat” dalam sejarah. Tapi cahaya terang mulai nampak. Fakta sejarah yang telah lama ditutup selama 32 tahun oleh orde baru kini mulai terang. Salah satunya dengan membaca novel ini, satu demi satu stigma buruk terhadap golongan kiri memudar. Kiri atau kanan selama mereka berjuang untuk Indonesia mereka adalah pejuang yang patut dikenang dan dihargai sebagai pahlawan.
[1] Soebagijo I. N., Kata Pengantar dalam Pacar Merah Indonesia (Yogyakarta:Beranda Publishing, 2010)
[2] Harry A. Poeze, Kata Pengantar dalam Pacar Merah Indonesia (Yogyakarta:Beranda Publishing, 2010)
Comments
Post a Comment