
Awalnya adalah operasi militer. Pada dini hari 1 Oktober 1965 segerombol
pasukan pimpinan Letkol Untung menculik dan membunuh bebarapa Jenderal. Meski
bukan organisasi semimiliter, Parati Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai
dalangnya. Ujungnya terjadi pembantaian massal terhadap orang-orang yang
dianggap PKI. Peristiwa itu disebut Gerakan 30 September (G 30 S) – kini tanpa
embel-embel PKI dibelakangnya – atau Soekarno menyebutnya GESTOK (Gerakan Satu
Oktober).
49 tahu lalu, peristiwa itu terjadi. Tapi, luka masa silam itu mungkin
belum bisa tersembuhkan. Jangankan mencari pelaku yang harus diadili, simpang
siur sejarah masih menjadi satu problem. Dokumen-dokumen prahara 1965 masih
disegel di ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia). Alasannya, terganjal TAP
MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Lalu siapa yang bertanggung jawab atas pembantaian
ratusan ribu jiwa selama 1965-1966. Belum lagi yang ditahan tanpa diadili
selama puluhan tahun di Pulau Buru.
Begitu penting dokumen itu, hingga harus dirahasiakan sampai saat ini.
Arsip “terlarang” itu berisi data organisasi afiliasi PKI, nama-nama tokoh PKI,
dokumen siding-sidan Mahkamah Militer Luar Biasa, foto kopi hasil visum para
Jenderal yang dibuang di Lubang Buaya, Jakarta Timur, termasuk gerakan pembasmiannya.
Pro kontra terus muncul. Meski di beberapa negara yang memilki dokumen terkait
prahara 1965 semacam Amerika Serikat, , dapat diakses oleh khalayak umum. Di
Indonesia? Agaknya masih belum jelas, kapan rahasia sejarah itu akan diungkap secara blak-blakan.
Menurut sejarawan, Baskara T Wardana, yang dikutip dari berita Kompas,
2 September 2014, pembukaan arsip-arsip adalah satu cara mengakui ada luka yang
harus disembuhkan. Sudah saatnya Bangsa Indonesia terbuka terhadap masa lalunya
sendiri. Mungkinkah ada kepentingan politis?. Pemerintah dinilai khawatir
pengungkapan arsip itu akan menguak rahasia pihak-pihak tertentu. Jelas,
orang-orang yang terlibat langsung peristiwa tersebut banyak yang masih hidup.
Entah di pihak otoritas saat itu atau korban.
Keharusan Meluruskan Sejarah
Suatu ketika ANRI pernah melakukan uji kepentingan publik. Hasilnya
masih terjadi pro dan kontra. Banyak kalangan sejarawan, peneliti, dan Lembaga
Swadaya Masyarakat meminta untuk dibuka. Langkah itu dianggap sebagai bentuk
upaya pelurusan sejarah dan rekonsoliasi. Namun, sebagian institusi pemerintah
seperti Kejaksaan, Kepolisian, dan TNI cenderung menolak.
Sebenarnya jika mengacu pada TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, tidak
disebutkan secara eksplisit tentang perahasiaan arsip. Ketepan itu hanya berisi
pembubaran PKI dan pelarangan paham Marxime-Leninisme. Apalagi berdasarkan
Undang-Undang (UU) Nomor 43 tahun 2009 tentang Kearsipan, arsip rahasia apapun
bisa dibuka setelah 25 tahun. Tapi kenyataannya, tumpukan dokumen itu masih
tertutup rapat di gedung ANRI.
Memang, arsip adalah memori kolektif bangsa dan sudah semestinya
dimanfaatkan masyarakat umum. Tapi, dalam upaya untuk menyusun sejarah secara faktual dengan itu pun tidak cukup. Dibutuhkan berbagai
pandangan, termasuk perspektif para korban. Pengumpulan informasi
sebanyak-banyaknya membantu analisis sejarah secara konferehensip. Karena
selama orde baru, sejarah G 30S masih sangat timpang dan sarat kepentingan.
Keruntuhan rejim Suharto pada 1998 memberikan sedikit cahaya terang.
Usaha meluruskan sejarah 1965 menggeliat. Dari mulai buku-buku ilmiah, memoar,
video documenter semakin melengkapi kepingan sejarah yang sempat hilang selama
32 tahun. Meski masih jauh faktualitas yang sesungguhnya, tapi bangsa Indonesia
diberikan ruang luas untuk terus menggali masa lalunya. Kini tinggal menunggu
gebrakan pemerintah baru untuk menyusun sejarah nasional Indonesia tanpa adanya
intervensi politis maupun ideologis.
Perspektif Sejarah 65 Pasca
Reformasi

Kejadiannya sungguh sangat cepat.
Operasi militer 1 Oktober 1965 menyisakan segepok pertaannya. Kali ini bukan
hanya, siapa dalang di balik penculikan sejumlah perwira. Tapi, pembunuhan
massal pasca 1 Oktober itu. Siapa dalangnya?.
Menurut Barkara T. Wardana dalam
bukunya Bung Karno Menggugat! Dari Marhaen, CIA, Pembunuhan Massal, hingga
G30S tak terlalu sulit menemukan dalang pembantaian yang memakan ratusan
ribu orang itu, khususnya di tingkat nasional. Faktanya: pembunuhan terjadi
minggu ketiga Oktober di Jawa Tengah, November di Jawa Timur dan Desember di
Bali dan selanjutnya di tempat lain menunjukkan, pembunuhan tidak terjadi
spontan dan serempak. Terkesan ada koordinasi dan provokasi. Hal ini dikuatkan
oleh perwira RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat), Sarwo Edhi Wibowo, mertua
presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang memang pernah memimpin dan
mengkoordinir operasi penumpasan PKI dan yang dianggap simpatisannya.
Tentara tak sendirian. Mereka
mempersenjatai kaum santri, mahasiswa, dan orang-orang anti-PKI untuk turut
membantu melakukan aksi penjagalan. Korbannya kebanyakan adalah rakyat jelata
yang jelas tidak ada sangkut pautnya dengan gerakan yang dipimpin Letkol
Untung.
Dari sudut pandang geopolitik
internasional kala itu, beberapa sejarawan, termasuk Baskara menyakini ada keterlibatan
Ameriak Serikat, khususnya CIA. Diduga CIA yang memberikan daftar orang-orang
komunis yang harus dibunuh. Hal itu pernah diulas dalam koran harian yang cukup
terkenal di AS, yakni Washington Post edisi 21 Mei 1990. Baskara, dalam
bukunya menjelaskan kendati markas besar CIA menyangkal, tapi Robert Martens,
pada 1990 membenarkan tentang daftar itu. “ Mereka (AD) mungkin membunuh banyak
orang, tangan saya sendiri mungkin berlumuran darah, tapi toh tidak semuanya
jelek. Ada momen dimana seseorang harus ambil tindakan tegas pada saat-saat
yang menentukan,” katanya dalam buku Bung Karno Menggugat! Dari Marhaen,
CIA, Pembunuhan Massal, hingga G30S.
Kepentingan AS jelas adalah
ekonomi. David Ransom, jurnalis asal AS, telah menguraikan gamblang tentang kepentingan
ekonomi AS di Indonesia dan keterlibatannya pada 1965 dalam bukunya Mafia
Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia. Sukarno, saat itu adalah momok
bagi AS. Ketegasan presiden pertama Indonesia kepada AS membuat negeri Uncle
Sam sulit menancapkan cengkeraman ekonomi di Indonesia. Maklum bagi AS,
Indonesia the greatest prize
(hadiah terbesar) dari Tuhan di Asia Tenggara. Menjelang keruntuhan
Sukarno, AS telah bergerak lewat universitas. Terbentuklah sebuah geng
intelektual di bidang ekonomi bernama Mafia Berkeley. Tokohnya dari Indonesia
seperti Soemitro Djojohadikoesoemo (ayah Prabowo Subianto), Ali Whardana, Emil
Salim, Mohammad Sadli, Widjoyo Nitisastro, Soebroto, Barli Halim, dan
Soedjatmoko. Dari pihak AS seperti Guy Pauker, George Kahin, John Howard,
Harris, Glassburner.
Mereka bertugas mencekoki
mahasiswa Indonesia dengan konsep liberalisme ala AS. Pada gilirannya
mahasiswa-mahasiswa itulah yang menjadi motor dalam proses kejatuhan Sukarno
dan tentunya ikut terlibat dalam aksi pembantaian PKI. Pada masa Suharto, geng
ekonom inilah yang membawa Indonesia ke jurang liberalism ala AS. Akhirnya, paman Sam berhasil menancapkan
Modern American Empire (Kerajaan Modern Amerika) di Indonesia hingga
kini.
Kompleksitas peristiwa 1965
menjadi sebuah tantangan bagi generasi negara bangsa ini. “JAS MERAH, jangan
lupakan sejarah,” begitu lekat kata Bung Karno itu pada masyarakat. Namun, apa
jadinya jika sejarah itu sendiri palsu. Kenyataan masa lalu harus diungkap.
Tujuannya bukan untuk mengorek luka lama dan saling menyalahkan satu sama lain.
Tapi sebaliknya, untuk menyembuhkan dan mempersatukan. Bahwa kejujuran sejarah
harus menjadi tiang pembangunan Indonesia masa depan, maka semua pengampu
negara ini harus legowo untuk membuka tirai kekaburan sejarah Indonesia selama
ini, khususnya tentang prahara kemanusiaan 1965.
Tak ada larangan, bahkan ancaman seperti masa Orba. Saat itu,
bacaan-bacaan kiri/ke-PKI-an dibumihanguskan. Tercap sebagai bacaan larangan.
Masa itu telah berlalu. Kini tidak sulit ditemui. Buku-buku, majalah, film
documenter tentang G 30 S mudah untuk didapat. Banyak sejarawan mendedah
sejarah 1965-66 secara terang-terangan bak tanpa hambatan. Kini tinggal rakyat
Indonesia yang memutuskan untuk mau mengungkap sejarahnya atau tidak.
Comments
Post a Comment