Oleh: Moh. Ariful Anam
Tampaknya, kita akan menaruh prasangka baik ketika melihat Karapan Sapi di Madura atau Tari Jaipong ditonton turis asing. Dan berharap tradisi atau kesenian lokal memikat para turis membuat mereka berbondong-bondong datang ke Indonesia. Sehingga terjadi kontak ekonomi. Masyarakat mengambil keuntungan dari transaksi jual beli souvenir-souvenir atau nilai lebih lainnya. Negara tak ketinggalan. Devisa meluap-luap bak busa sabun, pemerintah tersenyum lebar melihat angka-angka pendapatan devisa merangkak naik. Apalagi Indonesia kini berhadapan dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan Asean Free Trade Agreement (AFTA) 2015 yang memungkinkan terjadinya “eksodus” turis besar-besaran ke Indonesia. Semua bersorak bahagia.
Namun, jika kita sedikit merenung dan berpikir ideal, apakah segala hasil karya budaya manusia menjadi disegani karena ada memiliki nilai secara ekonomis?. Budaya lokal menjadi sangat dibanggakan jika dapat ditampilkan di panggung internasional, didepan mata orang-orang yang tak sedikitpun tahu makna dan spirit dari budaya tersebut. Hal ini bukan problem kolektif bangsa Indonesia yang sedang fokus dengan agenda-agenda “pembangunan” ekonomi. Padahal lebih dari itu. Banyak pergeseran makna sebuah budaya. Kebudayaan menjadi lebih sempit cakupannya. Sehingga tanpa disadari kita telah mencipatakan sebuah ukuran bahwa keunggulan karya budaya dipandang menjadi bentuk materi yang sangat estetis dan ekonomis. Karya budaya lokal menjadi sangat kaku, tidak mampu memberi pengajaran kehidupan kepada manusia. Pada gilirannya, budaya lokal adalah objek unik, langka, yang perlu ‘diotopsi’ dan digunakan untuk mendatangkan pundi-pundi uang bagi segelintir orang.
Sangat berbeda jauh. Kita dapat membandingkan pada tahun-tahun 1965-an, ketika sebuah grup ludruk binaan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) menghelat pentas bertajuk Matine Gusti Allah (Matinya Tuhan) menggegerkan masyarakat sekitar hingga memancing amarah seorang anggota Barisan Ansor Serbaguna (BANSER) Nahdlatul Ulama. Bukan hanya itu judul-judul ludruk yang berani dan kritis, kadang juga agak profokatif seperti Gusti Allah Ngunduh Mantu (Allah mengambil menantu), Malaikat Kimpoi (Malaikat Bersetubuh), Gusti Allah Dadi manten (Allah Menikah) semakin bernyali untuk ditampilkan. Jelas kreasi budaya semacam itu sangat sedikit memperhitungkan selera konsumen atau bahkan tidak sama sekali. Sebab kisah yang diulas oleh Majalah Tempo edisi 6 Oktober 2013, seolah mencoba menginsyafkan kita bahwa karya budaya wajib memiliki nilai kontruktif untuk mewujudkan tatanan sosial yang ideal. Terlepas dari patron baik dan buruk.
Maka, dalam esai singkat ini, saya hendak mendedah sekaligus membongkar paradigma keliru tentang budaya lokal/indonesia yang kerap disandingkan dengan istilah komoditas-komoditas perdagangan. Selain itu, berusaha agar kita insyaf bahwa segala bentuk budaya tidak pantas dijadikan semacam objek, keunikan, segala sesuatu yang pasif dan perlu ditelaah melalui cara pandang pragmatis semata.
Redefini
Budaya, menurut Ki Hajar Dewantara, lahir dan berkembang sebagai hasil perjuangan manusia atas segala bentuk kekuatan alam yang meliputi kehidupan manusia itu sendiri. Dan segala pengaruh dari perubahan jaman menyebabkan terus bergantinya ‘bentuk’ dan ‘isi’ budaya kolektif suatu kelompok masyarakat atau suatu bangsa. Sebab, budaya selalu tergantung pada dinamika perubahan alam maupun jaman yang sering kali bertentangan dengan kehendak akal budi manusia, maka tidak semua budaya itu memiliki nilai etis dan etika yang luhur. Bahkan, bila pun sebagian mengatakan perubahan budaya itu seolah dikehendaki, tapi bertolak dari tinjauan kritis perubahan-perubahan itu sejatinya hanyalah wabah penyakit yang menggerogoti jiwa manusia sebagai entitas yang unggul. Sedangkan secara geografis, budaya-budaya khas yang dimiliki suatu kelompok masyarakat di suatu daerah diistilahkan sebagai budaya lokal.
Sepintas memang sukar untuk dipahami. Tapi, jika kita memandang realitas kemajuan teknologi, ekonomi, dan segala bentuk kebutuhan material manusia berangsur-angsur akan menciptakan suatu gaya hidup baru, pandangan baru, nilai-nilai baru dalam suatu kelompok manusia. Segala bentuk hasil kemajuan inilah yang dinamakan perubahan kebudayaan. Perjuangan manusia terletak pada usaha-usaha yang dilakukan untuk sebuah cita-cita yang dinamakan “kemajuan”. Misalkan, kita telah melihat bagaimana alat komunikasi begitu cepat berubah dengan berbagai macam fitur yang kemudian dianggapnya sebagai “perkembangan dan kemajuan”, meski substansi dan fungsi alat itu tetap sama yakni sebagai alat berkomunikasi. Dari kondisi tersebut kita akan tercengang ketika membandingan perilaku, pergaulan, bahasa sudah jauh berbeda sebelum “kemajuan” alat-alat komunikasi. Lantas atas dasar kekuatan apa dan kehendak apa kita harus mempertahankan tarian-tarian daerah, permainan tradisional anak-anak daerah, bahasa daerah, dan segala bentuk budaya lokal? Ketika jaman dan segala perubahannya tidak menghendaki budaya lokal masa lalu tersebut.
Sebagian problem kita adalah pemaknaan dan pendefinian budaya di tengah khalayak kerap keliru. Budaya dianggap hanyalah segala bentuk dan isi yang bersifat material/konkrit. Lebih parah lagi definisi budaya semakin disempitkan dengan pandangan bahwa segala sesuatu yang bersifat tradisional saja yang merupakan budaya. Misalkan ketika kita diminta untuk menyebutkan budaya-budaya Indonesia pasti akan banyak menyebutkan Tari Ronggeng, Jaipong, Pagelaran Wayang Kulit, Ludruk, dan lain sebagainya sebagai budaya Indonesia “yang sesungguhnya”. Padahal segala bentuk perilaku, cara pandang nilai-nilai moralitas kita sebagai bangsa Indonesia adalah bagian dari budaya Indonesia, sekalipun budaya itu adalah hasil dari percampuran dengan budaya bangsa lain.
Kita memang harus insyaf dan betul-betul memahami. Budaya sebagai perpaduan rasa, karsa, dan cipta manusia haruslah kita bisa memilah-memilih mana budaya yang benar-benar Indonesia. Sebab, dalam ruang hidup dan kembangnya budaya tidak bisa terhindar dari proses asosiasi atau akulturasi, yakni percampuran kebudayaan antar bangsa.
Dari sini kita bisa melihat asosiasi budaya Arab, China, India, bahkan Eropa telah lama terjadi dengan Indonesia. Dalam proses itu ada satu titik dimana asosiasi telah melahirkan sebuah budaya baru dan benar-benar khas. Inilah yang dinamakan asimilasi kebudayaan. Asimilasi budaya berjalan dengan prinsip evolusi. Budaya Arab, misalnya, melalui sistem religi, bernama Islam telah bercampur kultur nya dengan cara pandang masyarakat Jawa yang sebelumnya Hindu-Buddha, sehingga lahirlah berbagai tradisi, ritual keagamaan, cara berpakaian, bahkan cara berpikir yang sama sekali berbeda dengan bangsa Arab. Ia memberikan identitas baru dan tidak adanya dominasi budaya, di dalamnya ada kesesuaian dan harmoni. Artinya, tidak bisa memaksakan segala bentuk dan isi budaya Arab harus diterapkan di Indonesia. Arogansi budaya tidak dibenarkan atas dasar apapun. Sebab, jika tidak ada harmoni di dalam asosiasi budaya, maka yang di dapat di masyarakat Indonesia hanyalah keburukan, kekacauan, ketidakseimbangan, dan hilangnya identitas sebagai manusia beradab.
Maka definisi sebenarnya budaya lokal tidak bisa dibatasi dengan segala bentuk tradisi kuno yang dapat dikomoditaskan, tapi segala kekhasan (perilaku, cara pandang, nilai moral, keyakinan, dll) yang ada di suatu wilayah itu adalah budaya lokal. Lalu bagaimana posisinya di hadapan seluruh bangsa dan masyarakat dunia?.
Reposisi
Sebuah kebudayaan beroperasi di tengah masyarakat. Ia dapat menjadi lebih dominan dibanding dengan budaya yang lain. Tengoklah masyarakat kita. Seberapapun kuat usaha pemerintah mempromosikan warisan budaya nenek moyang kita, sampai membentuk kementerian yang membidangi kebudayaan, tapi kenyataannya lifestye (gaya berpikir, gaya fisik, gaya pergaulan, dll) kita masih beraroma ke-Eropa-an, ke-Arab-an, ke-Korea-an. Lantas apakah ini persoalan pemerintah? Atau bahkan ini bukan sebuah kesalahan? Lalu apa tugas kita terhadap kebudayaan Indoensia.
Dominasi budaya satu terhadap budaya yang lain, menurut Antonia Gramsci, sebagai sebuah kepemimpinan budaya yang ia sebut sebagai hegemoni. Edward W. Said memakai gagasan Gramsci dalam kajiannya tentang Barat dan Timur. Hal ini terjadi akibat kuasa pengetahuan oleh Barat terhadap Timur (negara bekas jajahan) yang telah berlangsung lama. Masa-masa kolonialisme bukan hanya praktek eksploitasi sumber daya alam dan manusia. kolonialisme menciptakan identitas Barat sebagai masyarakat yang lebih unggul dibanding Timur. Barat mendudukan Timur sebagai objek untuk dikaji menurut interpretasinya. Pada gilirannya Barat memberi identitas kepada “mereka” – Timur – sebagai entitas yang terbelakang dan butuh bantuan Barat.
Maka, posisi budaya lokal Indonesia di hadapan masyarakat sebagai kekuatan hegemoni di masyarakat Indonesia sendiri. Usaha ini pernah dilakukan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada tahun 1960-an – sebelum dibubarkan Orde Baru – menempatkan kebudayaan sebagai alat perjuangan menata masyarakat adil dan makmur. Budaya dipakai media menyebarluaskan gagasan-gagasan tentang ekonomi, politik, dan sosial, dan menempatkan budaya di lingkungan institusi politik secara eksplisit maupun implisit. Sebab institusi politik sebagai institusi kekuasaan yang memiliki hak “totaliter” untuk menempatkan budaya sebagai kekuatan hegemoni.
Bahan Bacaan:
Kumpulan Tulisan Ki Hajar Dewantara: Bagian 2; Kebudayaan. 2011. Yogyakarta: Majlis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Edward W. Said. 2010. Orientalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Comments
Post a Comment