Ketika
berbincang marhaenisme dalam komparasi ideologi, Marxisme-komunisme sering kali
diletakkan untuk menjadi salah satu pembanding. Dalam telaahnya, terminus ad
quem (titik pijak) kelahiran ideologi yang disetuskan Soekarno dilandaskan
pada kemanusiaan, sedangkan Marxisme: alieniasi manusia dari alat produksi.
Keduanya sama: kiri, menentang exploitation de I’homme par I’homme
(penghisapan manusia terhadap ,manusia lain). Sama-sama lahir dalam rahim
kehidupan sosial yang tertindas oleh kepemilikan kapital atau borjuasi.
Bahkan Bung
Karno dalam
konferensi pendidikan marhaenis, 1958 mengatakan,” Intinya, marhaenisme
adalah marxisme yang dijalankan untuk kondisi Indonesia.” Selanjutnya Bung Karno mengatakan,”Kita mengambil filsafat historis materialisme
sebagai pedoman pikiran dan kerja marhaenisme”. Marxisme dengan Historis
Materialisme sebagai metode dan analisis
Marhaenisme dalam memahami kontradiksi pokok dan kontradiksi tidak pokok
kondisi masyarakat Indonesia.
Sedangkan
pembedanya beragam macam. Salah satunya, titik tolak dari sebab musabab
penindasan, menurut pemikiran Karl Marx (marxisme), karena adanya
ploretarisasi, kepemilikan modal oleh kaum borjuis menciptakan pola ekonomi
kerja-upahan, sehingga kelas pekerja/buruh tidak mampu mengembangkan kapasitas
kerjanya untuk menghasilkan nilai lebih, di satu pihak, borjuis, menikmati
jerih payah pekerjanya tanpa harus bekerja secara berlebih. Pekerja tetap
melarat, karena ia tidak memiliki hak atas keuntungan produksi (nilai lebih),
sedangkan borjuis/majikan semakin kaya, meski tidak terlalu bekerja, karena ia
yang memiliki modal berupa alat-alat produksi. Cara hidup yang tidak adil.
Namun,
kenyataan sama. Ada kemelaratan, meski beberapa orang memiliki alat produksi,
bahkan tidak perlu mempekerjakan orang lain. Seorang petani yang memiliki
kapital, berupa sebidang tanah dan alat-alat produksi lainnya tetap hidup dalam
lingkaran kesengsaraan, dimiskinkan (pauverising) oleh pola ekonomi
kapitalistik. Inilah titik tolak sebab musabab Soekarno mencetuskan ‘ideologi’
Marhaenisme, yang – katanya – menurut kaum marhaenis (penganut marhaenisme)
sebagai pemikiran brilian, kritis, tajam, bahkan dikultuskan.
Meski
begitu, marhaenisme maupun Marxisme tetaplah sama. Dilahirkan oleh
ketidakadilan ekonomi. Pola ekonomi dulu – ketika dua isme itu lahir –hingga
kini – ketika dua ideologi nyaris punah -, masih dalam ‘adat istiadat’
borjuistik/kapitalistisme; monopoli pasar, deregulasi, liberalisasi dagang,
persaingan bebas, dan lain-lain.
Maka, sejak
lahir dan sampai saat ini, Marhaenisme dan Marxisme tetaplah anti-kapitalisme.
Mendudukkan Kapitalisme dan anak pinaknya sebagai thesa dan 2 isme itu sebagai
antithesa, meski sampai hari ini masih ada perdebatan ‘konyol’ soal
Marhaenisme sebagai antithesa atau sinthesa.
Dulu....
Dalam arena
pertarungan ideologi dunia, memang Marhaenisme belum teruji dalam praktek
membangun Sosialisme Indonesia. Soekarno pada masa kekuasaanya lebih menjadi
penyeimbang daripada menjadi pimpinan dengan otoritas penuh untuk
merealisasikan cita-cita revolusi Indonesia dengan identitas ideologi
Marhaenisme. Akhirnya, gagasan Nasakom (Nasionalis, Agamis, dan Komunis) lebih
dipopulerkan sebagai obat mujarab stabilitas pemerintahan Soekarno. Tahap
revolusi Sosialisme Indonesia – masa Soekarno – tidak tuntas pada tahap
Revolusi Nasional, terbukti kegagalannya menjadi Pimpinan Besar Revolusi secara
utuh. Sedangkan Revolusi Sosial masih dalam blueprint yang jauh dari
praktik, itupun masih dalam teks-teks lawas tanpa ada pengembangan.
Di satu
sisi, Marxisme dalam identitasnya sebagai Komunisme – lebih akrab dikenal
Marxisme-Leninisme –mampu survive dalam tataran politik kekuasaan dan
sosial-ekonomi. Kendati Uni-Soviet sebagai simbol komunisme dunia runtuh pada
tahun 1990 dan terklaim bahwa ideologi Komunisme telah bangkrut. Nyatanya,
Tiongkok masih kekeh menjalankan Komunisme sebagai sistem politik, meski sistem
ekonomi-sosial nya beraroma Kapitalisme. Begitu juga Korea Utara yang terus
diperolok dunia melalui ‘kediktatorannya’ dan sikap ‘nakalnya’ masih memegang teguh Komunisme.
Pun, Vietnam, meski belum jelas ‘karakter’ ke-komunisan-nya.
Kini...
Kini,
Marhaenisme terus diuji ke-kiri-annya. Kemenangan Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) – yang mengaku berideologi Marhaenisme - di Parlementary Electoral dan Presidential
Electoral 2014 justru tidak mampu mengkonsolidasikan kekuatan nasional
untuk menyongsong Revolusi Indonesia sesuai blueprint Soekaron dalam cita-cita
Sosialisme Indonesia. Sebaliknya, kebijakan sosial-ekonomi Pemerintah Indonesia
lebih mesra dengan Kapitalisme melalui kran investasi seluas-luasnya.
Di level
intelektual, organisasi mahasiswa, GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia),
belum menunjukkan keseriusan untuk menelaah Marhaenisme sebagai studi ilmiah
dan menerjemahkan dalam bentuk kontinuitas gerakan secara nasional, masih
terjebak pada slogan-slogan revolusioner dan aksi jalanan layaknya supporter
sepakbola. Kegagalan merumuskan ideologi menyeret GMNI pada ambiguitas visi.
Alih-alih momentum yang seharusnya menjadi mediator konsolidasi ideologi,
justru hanyalah eventul untuk memenuhi program organisasi.
Nyatanya, meski
berada di tepi jurang, Marhaenisme masih bertahan dalam sebuah sistem nilai sebagai
bintang penunjuk arah bagi individu-individu yang tercipta menjadi sikap dan
aktivitas kiri. Masih jauh dari ‘artikulasi’ ideologi dalam konteks
penjelmaannya menjadi social-politic movements dan international
discourse. Realita yang berlangsung selama bertahun-tahun. Selama masa itu
pula, Marhaenisme tidak berubah ke-kiri-an, meskipun kelompok-kelompok
teroganisir kurang percaya diri bahwa melalui Marhaenisme, mereka adalah kiri.
Akhir kata:
apapun dinamika sosial yang bergeliat mengantagoniskan ideologi kiri, dengan
dalih dan analisis apapun Marhaenisme bukan kanan atau tengah, tapi kiri. Kita
harus akui itu.
Kediri, 23
Juni 2016
Comments
Post a Comment