
Setiap kali orang melakukan salat, ia telah mensimbolisasi pembentuk kehidupan dalam tiap gerak salat. Setiap detailnya mengandung makna yang tak remeh. Dalam berdiri, ia simbolkan api sebagai representasi energi panas, tegak dan selalu menjulang ke angkasa. Rukuk, ibarat udara yang memberi nafas, disusul dengan sujud sebagai bentuk air yang senantiasa menghidupi. Duduk membentuk isyarat betapa kokohnya bumi yang kita pijak, meskipun pada saatnya pasti berakhir kekokohan itu.
Simbol-simbol
salat menyampaikan pesannya sendiri. Kesemuanya terpadu harmoni membentuk apa
yang dinamakan: Kehidupan.
Begitu pula
puasa. Ritus agama yang khas. Sangat berbeda dengan rukun Islam lainnya.
Syahadat, Salat, Zakat, dan Haji, nampak bentuk perilakunya oleh orang lain,
sedangkan puasa hanya diri yang mengetahui. Puasa merupakan refleksi individual
yang sangat sensitif. Spirit kehidupan yang dikonstruk dipondasikan oleh pesan social
morality. Kita diajarkan kehidupan lain di luar mapan kebanyakan orang.
Dikekang dari hajat dasar manusia: makan, minum, dan seks, selama menjalani
puasa, untuk sekedar menjalani Riyadlah (penggemblengan) fisik dan
mental bahwa ada kehidupan manusia lain berbeda: sedikit makan, minum, dan
terbatas melakukan seks.
Hemat penulis,
puasa pula mendidik mereka yang terbatas bahwa bukan nasib yang memiskinkan
mereka, tapi beberapa manusia lain yang menikmati secara berlebih. Pola sosial,
ekonomi, atau pun akses terhadap kedunya tidak berlaku adil bagi sebagian
orang. Sehingga, melahirkan disparitas-disparitas hidup, yang berimplikasi pada
pembentukan moral dan klasifikasi-klasifikasi sosial.
Puasa adalah
pembentukan sikap kita terhadap cara pandang manusia terhdap kebutuhan
materiilnya. Ali Ibn Abi Thalib pernah berkata, “jangan jadikan perutmu sebagai
kuburan hewan”. Makna implisit perkataan Ali, adalah seruan anti-hedonisme dan
anti-konsumerisme. Kita belajar menjadi sederhana dan berkecukupan, tidak
berlebihan. Mengambil hak sesuai porsi kewajibannya. Mentipiskan batas kepemilikan
kita, sebab puasa ‘memaksa’ kita berbagi (sedekah), memberi (zakat), tanpa
mengambil.
Visi puasa
seharusnya berbanding lurus dengan ide-ide bangunan hidup sosialisme. Islam
melalui puasa menawarkan sosialisme-nya sendiri, lebih lembut, dan lebih memaknai
nilai daripada sistem.
Spiritualitas
berpuasa berbanding terbalik dengan kondisi Ramadlan kini-atau telah lalu-.
Puasa sebatas eventual tahunan yang penuh hingar bingar ‘Islami’. Di media
massa segalanya menjadi serba Timur Tengah (Arab). Cara berpakaian, musik backsound
di beragam acara, dan tiba-tiba banyak orang pandai mendalilkan Quran-Hadits,
segalanya serba Arab.
Gegap gempita
Ramadlan di satu sisi menguntungkan sebagian orang secara ekonomistis. Harga
komoditas pangan merangkak naik, beberapa orang seperti tengkulak, distributor,
mengambil peran nakal dengan memainkan harga demi keuntungan semaksimal mungkin
. Di tingkatan makro, modal nasional maupun multinasional mendulang ‘emas’
dengan mensponsori beragam acara media massa, laris menjajakan produk-produk
pabrikan, karena tingkat konsumsifitas semakin tinggi.
Di sisi yang
lain, mereka yang tidak terlau (tidak sama sekali) diuntungkan secara ekonomis
(petani desa, peternak kecil, buruh tani, masyarakat miskin kota, dan kelompok
marjinal lainnya) memilih berlaku ‘taat’ beribadah puasa untuk menggantungkan
nasib kepada yang Kuasa, berharap nasib duniawi dan akhiratnya akan membaik,
atau bahkan mereka memilih status ‘abangan’ – tidak sama sekali berpuasa -,
puasa tidak memiliki arti apapun di benak mereka, sebab puasa maupun tidak
puasa nasib mereka tetap sama.
Lebih parah.
Mereka menjadi kelompok yang saling kontradiksi. Yang berpuasa minta dihormati,
yang tidak berpuasa didiskriminasi, maka munculah razia warteg, PKL, warung
kopi, dan lain sebagainya. Tapi, pedagang makanan yang dibentengi modal
multinasional (indomart, alfamart, transmart, Mc Donald, dan lain-lainnya)
aman-aman saja.
Ya, kita
dihadapkan pada kondisi Ramadlan yang serba pragmatis dalam bertata laku. Tidak
salah. Ceramah-ceramah para ulama memang menyuguhi perspektif Ramadlan yang
pragmatis, meski dalam koridor abstrak. Dalil-dalil dibunyikan, menegaskan
betapa besar amalan-amalan kita diganjar berlipat ganda di bulan Ramadlan oleh
Allah SWT. Sehingga, umat berbondong-bondong melakukan tadarus, tarawih,
wiridan, sedekah dan ibadah lain secara individual hanya untuk meraih
berkah dan pahala yang berlipat.
Namun, ada
nilai yang tercerabut. Pesan Ramadlan yang humanistis menjadi bias. Sebab,
kampanye perilaku baik hanya terbatas pada Ramadlan. Artinya puasa gagal dalam
menyampaikan nilai-nilai sosialisme dalam ajaran Islam. Hal ini berlangsung
setiap tahun. Dan para agamawan sibuk berdalil, mengurus masjid, memanjangkan
doa/wirid, sembahyang, tapi tumpul untuk memahami ajaran Islam yang humanistis.
Kediri, 18
Juni 2016
Comments
Post a Comment