Skip to main content

Menemukan Kembali Nasionalisme Kita

Semua orang berhak mengklaim dirinya nasionalis. Begitupun saya. Meski semasa kuliah pernah berkecimpung dalam organisasi berhaluan nasionalis, namun bukan berarti sebelumnya saya bukan nasionalis. Nasionalisme yang nyata itu saya temukan di sela-sela mengintip Indonesia dalam bingkai sejarah penderitaan.

Dalam capture dunia media, kita kerap menemukan nasionalisme menjadi semacam identitas politik yang kerap dipertentangkan dengan cap-cap yang lain, seperti nasionalisme - religius. Alih-alih ingin merona bingkai kebangsaan yang semakin kokoh dan mengakar. Justru malah memagari antar-antar kelompok, sehingga mudah terklasifikasi dalam bahasa politik elektoral. Lihat fenomena kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden 2019 mendatang. Padahal bahasa 'abangan dan religius' itu lebih mudah dicerna dibanding 'nasionalis-religius'.

Lantas mengapa 'nasionalisme dalam frame politik kekuasaan sebagai komunitas 'yang kurang saleh dalam beragama' lebih dapat diterima dibanding bahasa lugas: abangan.

Kegagalan akut, kita belum tuntas mendefinikan nasionalisme, nasionalis, dan bahkan nation itu sendiri. Memang sulit, jika kita menelaahnya lebih rigid. Benedict Anderson, seorang Indonesianis asal Cornell University berkata, "Selama ini para teoritisi nasionalisme telah sering didera kebingungan [mendefinisikan nasionalisme], kalau tidak bisa dikatakan kegusaran,......... Nasionalisme belum pernah melahirkan pemikir besarnya sendiri: nasionalisme tak punya tokoh-tokoh semacam Thomas Hobbes, Alexis de Tocqueville, Karl Marx, atau Max Weber," - Imagined Communities.

Menurutnya, ada beberapa kondisi paradoks yang dianggap mengakibatkan kegusaran para teoritikus dalam mengartikan nasionalisme. Meski di satu ada konsep Ernast Renan tentang nasionalisme, tapi tidak cukup menjawab perubahan sosio-kultural suatu komunitas masyarkat. 

Salah satu kondisi tersebut adalah perubahan dan pembaharuan objektif suatu bangsa atau komunitas masyarakat bagi sejarawan tidak dibarengi dengan perubahan subjektifitas para nasionalis. Kita dapat mendedah bahwa kecepatan perubahan jaman, berlinier dengan perubahan cara pandang dan perilaku orang-orang Indonesia dalam segala hal tidak diiringi kemajuan konseptualisasi nasionalisme itu sendiri. 


Kita masih diajari cara 'mencintai' Indonesia bukan 'mencintai dan kawin' dengan segenap rasa gregetan dengan kondisi bangsa yang tidak pasti. Alhasil, bangsa ini sering menyembunyikan luka-luka tanpa mencoba mengobati, seperti tentang kemiskinan, pelanggaran HAM, birokrasi korup, pencemaran lingkungan menjadi aib negara yang mandek di meja-meja rapat pemerintah. Pada gilirannya, mengkritik negara beserta masa lalunya adalah mencemooh dan menghina, tapi di satu sisi kita tidak diajari cara membangun kritik.

Di buku-buku diktat tentang kewarganegaraan, bangunan konsep nasionalisme kita masih mandek pada bias visual semata: bahwa negara ini, Indonesia, adalah negara kaya sumber daya alam, dengan sekitar 17.000 pulau beserta 500 suku bangsa dan bahasa.

Akhir kata, penggalian terhadap nasionalisme, beserta dengan konsep dan definisinya masih belum paripurna. Memang tak akan paripurna. Ya, kita telah menyelesaikan perkara Indonesia dalam arti Sabang sampai Merauke dan Miangas sampai Rote. Akan tetapi persoalan yang lebih pokok ialah melukis ulang kebangsaan kita yang lebih rasional.

Pada tatatran ini instrumen pokok dalam mengajari kita 'kawin' dengan Indonesia adalah kekuasaan politik. Acuan masyarakat kita untuk menginternalisasi nilai-nilai kebangsaan ialah seberapa empati negara sebagai sebuah alat dapat dijalankan dengan tepat guna. Saya tidak ingin berandai, "Jika kita terus-terusan terklasifikasi dalam identitas nasionalitas dan religiuitas atau bahkan kader ormas A atau B maka kita gagal dalam menjadi makhluk yang rasional, afalaa taqiluun, afalaa tatafakkaruun".

*Tulisan tidaklah utuh. Maka saya tidak berharap kalian paham apa yang saya maksud






Comments

Popular posts from this blog

Kapitalisme Bergerak

Doktrin kapitalisme mempostulatkan modal sebagai lokomotif utama dalam sirkulasi ekonomi. Kekuatan modal dipakai untuk mengusai seluruh aspek produksi, berupa alat produksi, tenaga kerja, sistem distribusi, dan keseluruhan yang berhubungan dengannya. Nilai lebih yang dihasilkan keseluruhan produksi semata-mata hanya untuk pemilik-pemilik modal. Nilai yang tertanam dalam doktrin ini begitu sederhana. Kapitalisme hanya memiliki satu nilai dalam sistemnya, yakni profit. Sehingga, ia tidak mengijinkan nilai-nilai lain seperti kemanusiaan, keseimbangan, keadilan sosial, mengintervensi segala bentuk aktivitas ekonomi. Ketimpanganyang dihasilkan kapitalisme melahirkan kesadaran bahwa ia harus dihancurkan. Marx memberikan konsepsi teoritis bahwa keruntuhan kapitalisme adalah keniscayaan sejarah dan akan digantikan oleh sistem masyarakat komunis. Tranformasi ini kemudian didebatkan oleh para penafsir Marx meski dalam dimensi yang sama, yakni revolusi. Lenin di Rusia misalnya. Dalam pen...

Potret Wanita Saudi Dari Wadjda

Masih ingatkah film khas lebaran zaman dulu berjudul  Children of Heaven . Berkisah tentang perjuangan Ali untuk memiliki sepatu baru. Sebab Ali dari keluarga tidak mampu, Ali mengikut sertakan dirinya di lomba lari. Berharap mendapat juara dua dan mendapat hadiah sepatu baru, maka ia pun malah bersedih menjadi juara wahid di lomba tersebut. Film yang dirilis tahun 1997 itu, bagi beberapa orang yang lahir di era 90-an sudah jadi bagian romantika masa kanak-kanak. Kini melalui Wadjda, sang sutradara wanita pertama Arab Saudi, Haifaa al-Mansour seolah berusaha menampilkan  Children of Heaven -nya Arab Saudi. Film ini bercerita tentang anak perempuan bernama Wadjda yang ingin memiliki sepeda nya sendiri. Ia kemudian mengikuti lomba tilawah al-Quran, untuk memenangi sejumlah uang. Akan tetapi, beda Ali, beda Wadjda. Bukan karena ketidakmampuan ekonomi keluarga Wadjda untuk membelikannya sepeda, tapi untuk keluarga religius pamali bagi anak gadis bersepeda. Ya, Wadjda ingi...

Kisah Konyol Menjelang Runtuhnya Uni Soviet

Siapa yang tak tahu Uni Soviet? “Negara” Perserikatan yang menjadi salah satu mantan aktor perang dingin ini telah bubar 23 tahun lalu. Negara – lebih baik disebut perserikatan – yang terletak di Eropa Timur dan kawasan Baltik menyita perhatian dunia pada akhir tahun 1991. Betapa tidak perserikatan ini yang lahir dari kesepakatan meja kongres pada tanggal 30 Desember 1922 – artinya sudah cukup  sepuh  untuk menjadi organisasi yang kuat – luluh lantah diterpa “badai” nasionalisme. Bubarnya Uni Soviet menandai kemenangan blok barat – AS dkk – dan berakhirnya perang dingin. Pada awal berdirinya – tepatnya saat kongres pertama – ada dua pendapatberbeda dalam menformat perserikatan. Pendapat pertama, Josepf Stalin mengusulkan satu perserikatan di bawah Republik Federal Rusia sebagai republik terbesar, dan republik-republik tetap memiliki otonominya. Sedangkan pendapat kedua dari Vladimir Lenin. Meski tak hadir karena sakit keras, Lenin mengirimkan gagasanya dalam sebuah...