Zaman perubahan (Transformational era) di dunia Arab semacam proyek baru yang sedang
digarap oleh IMF (International Monetary
Fund) dan Bank Dunia. Perubahan institusional dari cara-cara sistem politik
ekonomi tradisional menuju perubahan dimana merupakan akhir dari masa minyak (end of the oil era). Beberapa tahun
terakhir, IMF dan Bank Dunia memulai kerjasama dengan komunitas-komunitas
masyarakat, fokus terhadap pemberantasan korupsi, memperbaiki sistem layanan
pendidikan dan kesehatan. Dan di saat yang sama, program reformasi ekonomi juga
digalang dengan negara-negara Arab. Meski sebenarnya proyek utama adalah transformasi
sistem politik.[2]
Ekonomi berbasis ekspor minyak kian
dikoreksi. Meskipun beberapa negara Arab, minyak banyak memberi kesejahteraan
seperti negara-negara Teluk, nyatanya sebagian besar negara-negara petrodolar
belum dapat menyediakan lapangan pekerjaan yang lebih baik. Separuh populasi
dunia Arab dari 406 juta berusia dibawah usia 25 tahun dan rata-rata secara
regional 30 persen anak muda adalah pengangguran. Arab Saudi yang 70 persen
buruh bekerja di sektor publik kini sedang melirik ekonomi ‘alternatif’ baru
dan menurunkan ketergantungan ekonomi atas ekspor minyak.[3]
Di satu sisi, kebutuhan sumber energi terus
dialihkan dari minyak ke sumber energi lain. Pada tahun 2016 saja,
penggunaan minyak sebagai sumber tenaga
listrik kalah dengan gas alam. Dari total 10 negara Timur Tengah (Arab Saudi,
Mesir, Uni Emirat Arab, Qatar, Oman Kuwait, Bahrain, Iraq, Jodania, dan
Lebanon) yang dirilis Siemens Middle East
Power- Outlook 2035 dari total 1.132 Twh (Terawatt per hour), 731 Twh
berasal dari gas alam, sedangkan minyak bumi hanya 335 Twh. Sedangkan di tahun
2035 diproyeksikan dari total 2.092 Twh, 1.499 Twh merupakan gas alam dan
minyak bumi hanya akan digunakan 315 Twh dari total 2.092 Twh. Sementara itu,
kecepatan perubahan teknologi yang memungkinkan penggunaan sumber tenaga
alternatif, dan ketidaksesuaiannya dengan spirit Sustainable Development Goals, semakin menegaskan minyak bumi bukan
masa depan ekonomi dunia.
Orientasi Baru Ekonomi
Dunia Arab menuju
arah perubahan. Namun, beragam instrumen untuk melaksanakan tata kelola ekonomi
politik juga menjadi tantangan. Seperti kita lihat secara geo-politik dan geo-ekonomi.
Banyak irisan faksional, jika kita melihat
dari segi pendekatan regionalisme baru (new
regionalism approch). Di satu sisi ada liga Arab, yang kerap
direpresentasikan dengan wilayah Timur Tengah. Di sisi lain ada kerjasama
negara-negara Teluk (Gulf Cooperation Council), beserta irisan Arab-Afrika Utara yang kian komitmen
membangun tata kelola ekonomi baru berdasarkan penandatangan kerjasama ekonomi
baru-baru ini di Afrika atau disebut dengan African Continental Free Trade Area pada 2018 ini.
Namun kenyataannya,
negara-negara Arab mulai berbenah orientasi ekonomi. Lahirnya tesis Revolusi Industri
4.0, menempatkan kemajuan teknologi informasi sebagai sumber ekonomi baru yang
berprinsip pada kecepatan, presisi, efisien, dan bernilai ekonomi tinggi. Di Dubai,
Uni Emirat Arab, kemunculan Careem
sebagai perusahaan penyedia tranportasi on-line pada tahun 2012 saja telah
memperkerjakan 250.000 orang, dan semakin tahun akan bertambah - menurut
perusahaan - sampai 500.000 pekerja. Begitu juga Sauq.com perusahan ritel on-line telah memberi lapangan kerja
sampai 3000 orang. Padahal populasi
penduduk UAE hanya sebesar 9,4 juta jiwa pada tahun 2017. Secara umum, menurut
data MAGNiTT, kurang lebih muncul 3000 start-up di Timur tengah dan Afrika
Utara dengan nilai investasi mencapai lebih 870 juta dollar Amerika di tahun
2016.[4]
Itu artinya mereka semakin realistis dalam
membangun ekonomi dalam negeri mereka. Potensi kemajuan teknologi sebagai
pengumpul kapital terus dikembangkan untuk terus meminimalisir ketergantungan
pada ekonomi berbasis sumber daya alam yang terbatas.
Peluang Indonesia
Selain sumber daya alam sebagai penopang
produktifitas ekonomi, Timur Tengah nyaris tidak memiliki sumber daya mumpuni
untuk menggantikan ketergantungan terhadap minyak dan gas kecuali pada beberapa
negara yang mengandalkan sektor pariwisata, seperti haji dan umrah. Pertanyaan
mendasar setelah melihat sepintas overview
kondisi Timur Tengah , lantas apa sektor realistis yang mungkin dapat
diamainkan oleh Indonesia untuk meningkatkan kerjasama ekonomi yang
menguntungkan?.
Pertama, sektor modal. Ini yang menjadi
peluang Indonesia untuk meningkatkan kerjasama ekonomi, terlebih Indonesia kini
membutuhkan kucuran dana segar untuk membangun insfrastruktur dan proyek
strategis lainnya. Seperti tersiar kabar beberapa waktu yang lalu, rencana Arab
Saudi berminat investasi di Indonesia mencapai US$25 juta.[5]
Namun, ini terlampau jauh. Kondisi Timur Tengah diproyeksikan rata-rata pertumbuhan ekonominya hanya sebesar 3% di tahun 2018 dan
meningkat 3,3% di tahun berikutnya. Sedangkan secara regional,
negara-negara anggota Gulf Cooperation Council
(Arab Saudi, UAE, Qatar, Kuwait, Oman, Bahrain) yang digadang sebagai
pembelanja modal lebih tinggi hanya 2,1% di tahun 2018 dan 2,7 di tahun 2019.
Adapun negara Timur Tengah di Afrika Utara, seperti Mesir yang diharapkan
memainkan peranan penting hanya tumbuh di angka 4% ke 5%. Belum lagi dihadapkan pada resiko eskalasi geopolitik
yang kian tak menentu dan membuat ketidakpercayaan investor serta keterbatasan
akses bantuan finansial.[6]
Kedua, ketergantungan mereka terhadap sektor pangan (food) baik makanan jadi maupun hasil
agrikultur yang mungkin untuk jangka waktu yang lama. Ketahanan pangan
mereka ditopang oleh importir sebab ketersediaan lahan tanam hanya 5% dengan
40% diantaranya kesulitan irigasi. Peningkatan populasi
penduduk berbanding lurus dengan peningkatan nilai impor pangan, khususnya di
negera-negara teluk yang diprediksi mencapai US$53,1 miliar di tahun 2020. Hanya
Filipina, salah satu negara ASEAN, yang mensuplai pangan segar (fresh produce) di tiga negara utama
importir pangan, yakni UAE, Arab Saudi dan Qatar, dengan total nilai lebih dari
US$312 juta di tahun 2015, selebihnya negara-negara seperti Afrika Selatan,
Amerika Latin, Australia, India, China dan lain-lain.[7]
Pada kasus ini, kita sebagai negara agraris justru masih kepayahan untuk
ketahanan pangan saja, belum sampai pada eksportir pangan, meskipun produk
makanan siap saji, seperti produk Indomie yang merajai pasar di negara-negara
Afrika dengan memperoleh nilai tertinggi dalam Consumer Reach Points (CRPs).
Akhir
kata, kerjasama yang dibangun selama ini masih belum pada tahap kerjasama
ekonomi yang saling menguntungkan. Kita memang punya historis panjang hubungan
diplomatik dengan negara-negara mayoritas Islam tersebut. Terlebih untuk
kerjasama pendidikan dan kebudayaan. Pembenahan dalam negeri Indonesia,
terutama berkaitan dengan sektor komoditi berkelanjutan seperti pangan, harus
digarap serius mengingat dunia Arab semakin berbenah. Bukan tidak mungkin,
mereka akan menjadi kekuatan regional cukup diperhitungkan. Maka juga harus
berhitung, menalar dengan sistematis untuk membangun kerjasama multilateral dengan
Timur Tengah yang memiliki signifikansi ekonomi di masa depan.
Oleh :MOH. ARIFUL ANAM, ketua DPC GMNI Kediri
2015-2017.
*Tulisan ini mendapat peringkat pertama pada Kompetisi Esai DPP GMNI dengan Tema "Kemitraan strategis Indonesia di kawasan Asia Pasifik dan Afrika" yang diumumkan pada 20 November 2019.
[1] Pengkategorian
Negara-negara Timur Tengah di Indonesia meliputi seluruh negara-negara Arab
dari Teluk hingga Arab di Afrika Utara. Pengkategorian kadang berbeda, beberapa
membedakan antara Timur Tengah (Middle
East) meliputi negara-negara Teluk sampai Irak-Syria dan Arab di Afrika
Utara (North Africa) seperti Mesir,
Libya, Aljazair, Maroko, Tunisia dll, sehingga dalam kajian wilayah Arab kedua
disebut dengan MENA (Middle East and
North Arfrica).
[2] Marwan Muasher, Nascent Hopes, Finance and Development,
IMF, December 2017 Vol. 54 No. 4, Hal 14
[7] https://www.pma.com/Content/Articles/2017/06/Who-Supplies-the-Middle-Easts-Increasing-Demand-for-Fresh-Produce
Comments
Post a Comment