Saya bukan penikmat novel sebagaimana saya menggandrungi kopi dan rokok. Tapi bukan berarti anti. Novel bukan asupan utama saya. Ibarat menu, ia enak tapi tidak favorit. Jika ingin menyantap buku-buku atau sekedar membelinya, novel tidak masuk daftar paling atas. Hanya sekedar menambah variasi menu bacaan.
Beberapa novel yang pernah saya baca, seperti karya Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, yang dapat menampar rezim ketidakadilan, atau karya Thomas Harris, Red Dragon, yang membawa kita menelusuri lorong gelap kasus-kasus kejahatan misterius. Kali ini novel yang saya baca beda. Karya dari Eka Kurniawan berjudul Cantik itu Luka, berbeda dari keduanya. Bagi para penikmat novel aliran realisme ini dapat jadi pilihan menu dengan cita rasa lain.
Sudah lama saya tahu novel ini. Tapi enggan membelinya. Saya juga sudah mencari informasi di internet tentang penulisnya yang ternyata sudah kondang, memenangi beberapa penghargaan bergengsi, hingga dianggap penerus novelis terkemuka, Pramoedya Ananta Toer.
Awal September kemarin keturutan setelah mondar-mandir hampir 2 jam di Gramedia Kediri, akhirnya pilihan belanja jatuh pada novel dengan sampul dominan merah ini. Jika sang penulis dianggap penerus Pram, pastilah menarik, sajian kisahnya akan menggelora, heroik, sekaligus romantik.
Novel yang ternyata sudah dicetak puluhan kali sejak 2002 ini adalah santapan yang beda dari Pram, menurutku. Tidak ada kisah cukup romantis atau heroik, novel ini menggabungkan antara kisah hantu, mistis, perang gerilya, asmara, gairah, sensualitas, hingga politik kekuasaan. Sang penulis meramu kisah historis dari penjajahan Jepang hingga peristiwa kelam 1 Oktober 1965 yang menewaskan ribuan kader dan simpatisan PKI, bercampur dengan kisah-kisah hantu, kutukan, dan mitos-mitos.
Tokoh utamanya Dewi Ayu dan beserta empat anak-anaknya yang entah siapa bapaknya. Maklum, Dewi Ayu seorang pelacur primadona dan disegani. Tentu saja cantik, menawan, berwibawa. Perubahan politik kekuasaan mengantarkan dia, seorang darah campuran Belanda-Pribumi menjadi wanita tuna susila.
Kisah kelamnya, dihadirkan oleh penulis, sebagai bagian dari sejarah kehidupan dan keputusan yang tidak untuk minta belas kasihan. Dari kisah Dewi Ayu, pembaca akan dibawa pada nuansa kebingungan sekaligus kebanggaan. Tidak perlu ada empati dari kisah sang pelacur.
Tidak bangga sekaligus tidak terpaksa. Bagi Dewi Ayu, menjadi pelacur terhormat lebih beruntung daripada menjadi istri. Dibayar sebab jasanya, tidak perlu ada perasaan cinta yang rentan dikhianati, dan sementara istri harus mengabdi, “dibeli” melalui sekali mahar, dan yang paling berat adalah disakiti atau menyakiti perasaan pasangan.
Sementara tiga dari empat anak-anaknya Dewi Ayu: Alamanda, Adinda, dan Maya Dewi, mewarisi paras jelita sang ibu. Meski tidak meneruskan profesi ibunya, ketiga anaknya dan anak-anaknya - cucu Dewi Ayu - sebab kecantikannya menghadapi gejala hidup yang tak kalah menyedihkan. Anak keempat, si bungsu, bernama si Cantik, lahir begitu buruk rupa hingga manusia pun takut melihatnya.
Si Cantik tidak mengalami kemalangan karena kecantikannya sebagaimana kakak-kakaknya. Tapi wajah hitam, penuh jerawat, kusam, dan segala deskripsi kejelekannya memiliki tantangan hidup yang lain, meski juga sama-sama menyedihkan. Itu semua adalah kutukan dari sosok hantu yang kekasihnya pernah direnggut darinya.
Catatan penting usai membaca novel ini adalah - kalian yang pernah baca boleh berpendapat lain- pertama, tidak ada karakter protagonis yang penuh kebaikan, tanpa cacat, dosa, atau kelakuan buruk lainnya. Penulis, seolah, ingin menyajikan: ini lho kehidupan. Kamu boleh mengeluh, tapi jalanilah sampai ajal menjemput atau kamu yang menghampirinya. Kedua, kisah-kisah pilu tidak untuk meminta empati, mengajak pembaca mengucurkan air mata, sebab sekali menangisi kisah tertentu, kamu akan dibawa pada perasaan: bajingan juga orang ini. Ketiga, banyak cerita-cerita sensual yang menggairahkan, kelakuan-kelakuan bejat, sadis, tapi tampak biasa saja. Jadi jika kamu sok moralis dan sok suci, jujur novel ini tidak cocok denganmu.
Doktrin kapitalisme mempostulatkan modal sebagai lokomotif utama dalam sirkulasi ekonomi. Kekuatan modal dipakai untuk mengusai seluruh aspek produksi, berupa alat produksi, tenaga kerja, sistem distribusi, dan keseluruhan yang berhubungan dengannya. Nilai lebih yang dihasilkan keseluruhan produksi semata-mata hanya untuk pemilik-pemilik modal. Nilai yang tertanam dalam doktrin ini begitu sederhana. Kapitalisme hanya memiliki satu nilai dalam sistemnya, yakni profit. Sehingga, ia tidak mengijinkan nilai-nilai lain seperti kemanusiaan, keseimbangan, keadilan sosial, mengintervensi segala bentuk aktivitas ekonomi. Ketimpanganyang dihasilkan kapitalisme melahirkan kesadaran bahwa ia harus dihancurkan. Marx memberikan konsepsi teoritis bahwa keruntuhan kapitalisme adalah keniscayaan sejarah dan akan digantikan oleh sistem masyarakat komunis. Tranformasi ini kemudian didebatkan oleh para penafsir Marx meski dalam dimensi yang sama, yakni revolusi. Lenin di Rusia misalnya. Dalam pen...
Comments
Post a Comment